cari

AHLAN WA SAHLAN

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

AHLAN WA SAHLAN

Kamis, 02 Januari 2020

8 Pilar Sukses Mendidik Anak

Ilustrasi Pendidikan Anak Islam

Anak adalah suatu amanah yang telah diberikan oleh Allah kepada kita, begitu banyak orang yang menginginkan mempunyai keturunan setelah menikah, apapun akan dilakukan supaya segera dikaruniai seorang anak, baik dengan periksa ke dokter ahli, ikut terapi-terapi maupun program-program kehamilan yang diikuti.

Namun banyak orang yang lupa ketika dikaruniai seorang anak yang telah dihadirkan oleh Allah datang di keluarganya namun tidak di siapkan pendidikannya, padahal anak adalah sebuah amanah dari Allah yang nantinya akan di mintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat.

Berikut kiat sukses dalam pendidikan anak sebagaimana yang di posting dalam Dakwatuna.com semoga membawa manfaat :

Pilar pertama adalah memilih istri yang shâlihah. Itu menunjukkan bahwa buku ini secara khusus ditujukan untuk kaum pria. Meskipun demikian, dapat pula ditujukan untuk kaum wanita dengan menggantinya menjadi “jadilah wanita/ibu yang shâlihah”. Menurut Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, “… ia akan menjadi penolongmu dalam mendidik, mengajarkan adab mereka (anak-anak) dan mengasuh mereka dengan pengasuhan yang baik. … ia tidak akan membahayakan agama dan akhlak mereka.” Dengan demikian, ibu yang shâlihah adalah pendidik yang baik dan tidak akan membahayakan agama dan akhlak anak.
Pilar kedua adalah mendoakan anak. Jika sebelum kehadiran anak, berdoa agar dianugerahi anak shâlih. Adapun setelah kehadiran anak; berdoa agar anak senantiasa diberi petunjuk, kebaikan, dan teguh di atas agama.
Pilar ketiga adalah memberi nama yang baik untuk anak. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr memberikan contoh, “Seperti engkau menamainya dengan Abdullah, Abdurrahman, Muhammad, Shalih, dan semisalnya nama-nama baik yang dapat mengingatkannya dengan ikatan kebaikan dan ibadah serta hal yang terpuji.” Beliau selanjutnya berpendapat bahwa “Sepantasnya orang tua menjelaskan kepada anak arti dari namanya, ….” Berdasarkan itu, dapat dikemukakan bahwa nama yang baik adalah nama yang dapat mengingatkan anak pada hal-hal yang terpuji.
Pilar keempat adalah berbuat adil kepada anak-anaknya. Tidak berbuat adil akan menimbulkan hasad yang menyebabkan permusuhan dan berujung terputusnya tali silaturahmi (shilaturrahim) di antara mereka. Anak pun bisa mendurhakai orang tua.
Pilar kelima adalah berlemah lembut kepada anak. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr menjelaskan maksudnya, “Bergaul dengan mereka penuh kasih sayang dan kebaikan. Waspada dan jauhilah sikap keras, kejam, dan antipati.” Sikap tersebut menyebabkan kecintaan dan kedekatan anak kepada orang tua sehingga orang tua mudah mengarahkan anak pada kebaikan. Begitu pula anak, akan mudah menerima nasihat dari orang tua.
Pilar keenam adalah senantiasa memberikan nasihat. Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr menjelaskan bahwa nasihat tersebut dimulai dari mengajarkan akidah, kewajiban-kewajiban Islam dan rukunnya, serta perintah-perintah syariat. Bahkan, nasihat tersebut termasuk memberikan peringatan tentang dosa-dosa besar dan seluruh larangan syariat.
Pilar ketujuh adalah menjaga anak dalam pergaulan. Menurut Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah memberikan permisalan tentang pengaruh teman kepada temannya dalam kebaikan dan keburukan. Hal itu dapat dibaca dalam sebuah hadis (hadîts) yang diriwayatkan oleh Bukhârî (No. 5534) dan Muslim (No. 2628). Oleh karena itu, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr menasihatkan bahwa “Hendaknya para orang tua memperhatikan anak-anaknya dengan siapa mereka berteman, dengan siapa duduk-duduk di sekolah dan sebagainya. Dan selalu memantaunya.” Ditegaskannya bahwa teman pada zaman ini termasuk televisi dan ponsel pintar (smartphone). Jika tidak dipantau orang tua, bahayanya sangat besar. Anak bisa menyimpang dan berbuat mungkar (munkar).
Pilar kedelapan adalah menjadi teladan yang baik. Hendaknya perkataan orang tua tidak berseberangan dengan perbuatannya. Jika tidak, anak akan bersikap masa bodoh terhadap nasihat orang tua. Menurut para ulama–sebagaimana dikemukakan Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr–teladan dengan perbuatan lebih mengena bagi anak dibandingkan dengan perkataan.
Demikian 8 Pilar Sukses dalam mendidik anak, semoga bermanfaat dan kelak buah-buah hati kita akan bersama-sama membawa kita ke Jannah Nya kelak.

Selasa, 02 Oktober 2012

Umar bin Khattab Cerdas Mengelola Keberanian

 http://www.konsultasisyariah.com/wp-content/uploads/2012/08/umar-bin-khattab.jpg


Kegelisahan melanda sebagian besar pemuka Quraisy. Gurat wajah mereka mengeras penuh beban. Kabar angin bahwa beberapa penduduk Yatsrib telah masuk Islam dan siap menampung kaum muslimin membuat mereka tak bisa lagi terlelap. Belum lagi saat Rasulullah SAW benar-benar menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri impian itu, mereka pun meningkatkan siksaan pada kaum muslimin yang tersisa di tanah suci. Berbondong-bondong, pelan namun pasti, kaum muslimin berhijrah dari Mekah ke Yatsrib dengan sembunyi-sembunyi. Dan pasukan Quraisy pun semakin meningkatkan penjagaan batas kotanya. Kegelisahan itu tak terbendung lagi saat Umar bin Khattab mendeklarasikan niatnya untuk berhijrah. Pemuda pemberani itu membawa pedang yang siap dihunuskan setiap saat, lalu shalat dan thawaf sejenak di Baitullah, sementara seluruh mata Quraisy tajam tertuju pada sosok tinggi besar itu. Usai thawaf, Umar naik ke atas bukit memandang sekeliling dengan pandangan yang teguh nan angkuh. Ia berseru lantang menciutkan hati kafir Quraisy. Ucapannya yang begitu tegas terpampang dalam sejarah orang-orang pemberani: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim, maka temui aku dibalik bukit ini!!! “. Ucapan yang tajam bak pedang terhunus. Menginjak-injak kesombongan dan harga diri kafir Quraisy. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka, bahwa sosok Umar kini benar-benar menantang keberanian mereka. Pemuda itu tidak sedang bercanda dengan ucapannya. Ia tidak menantang dengan sembarang ucapan. Ia tidak memberi peluang kemenangan. Ia tidak menantang pada posisi lemah bahkan tidak pula seimbang. Ia menantang dalam posisi kemenangan! Karenanya ia memilih kalimat yang tajam: “Barang siapa yang menginginkan istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim ….. “. Habis sudah kesombongan yang sempat terpatri dalam barisan Quraisy. Mereka bagaikan kerbau dicocok hidung. Tak ada respon, tak ada kemarahan. Bahkan wajah mereka pun seolah tertunduk kalah. Dan Umar bin Khattab pun melenggang tenang ke Madinah. Allahu Akbar! Jangan tergesa menuduh Umar bin Khattab nekad setengah mati. Jangan pula terburu berlebihan memuji bahwa ia super pemberani tanpa strategi. Tidak, sekali-kali tidak. Yang sedang dilakukan oleh Umar adalah mengelola potensi keberanian dengan cerdas. Ia sedang berstrategi dengan mengukur kemampuan dan potensi diri. Ia tahu persis kapan harus melakukan serangan ‘psyco war’ yang tajam menghujam, sebagaimana ia juga tahu kapan saat harus mundur teratur mengganti strategi. Inilah yang dilakukan Umar di medan Hudaibiyah. Saat seribuan lebih pasukan muslim di Madinah hendak menunaikan umrah di tanah suci, kafir Quraisy pun bersegera mengancam untuk menahan mereka mati-matian. Lalu Rasulullah SAW pun meminta Umar untuk menjadi utusan resmi, melobi pihak Quraisy agar membuka pintu Mekah bagi kaum muslimin yang akan umrah. Tapi kali ini Umar menolak dengan halus permintaan Rasulullah SAW yang sangat dihormatinya. Umar RA merekomendasikan Utsman bin Affan agar menjadi utusan berikutnya. Ada apa dengan Umar? Ke mana keberaniannya saat Hijrah seorang diri menantang seluruh penduduk Quraisy? Apakah keberaniannya mati suri setelah beberapa tahun menikmati kenyamanan ‘Madinah”? Tidak, sekali-kali tidak. Kali ini Umar RA pun sedang memainkan strateginya. Ia cerdas mengelola keberanian. Ia tidak sedang takut dan bahkan tidak pernah terbesit dalam hatinya rasa takut itu. Bagaimana ia bisa takut, sedangkan Rasulullah SAW saja menggambarkan sosok Umar sebagai satu-satunya manusia yang Jin pun enggan dan jengah berpapasan dengannya? Lalu apa yang dimaksudkan Umar dengan penolakannya itu? Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah strategi. Keberanian Al-Faaruuq itu tetap utuh pada tempatnya. Tidak berkurang sedikit pun dalam dadanya. Ia mundur sejenak karena sebuah strategi. Ia selalu cerdas mengelola keberanian yang ia miliki. Mengapa Umar menolak menjadi utusan Rasulullah SAW dan justru merekomendasikan nama Utsman bin Affan? Kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian bisa kita lihat dalam beberapa hal berikut ini.

Pertama: Umar sadar dengan potensi dirinya. Ia bukanlah tipe negosiator yang baik. Ia seorang yang tegas dan tak terlampau suka berdialog dengan penentang keberanian. Jika ia menjadi utusan, maka ia takut akan merusak agenda damai Rasulullah SAW yang datang ke Mekah untuk sebuah tujuan ibadah yang begitu mulia. Jadi pada titik ini, ia merasa bukan orang tepat untuk membawa pesan kedamaian!

Kedua: Umar bin Khattab lebih merekomendasikan Utsman, karena Umar tahu persis bahwa Utsman lebih handal dalam kemampuan lobby dan agitasi. Bukan itu saja, Umar juga tahu bahwa Utsman masih mempunyai kaki yang kokoh di Mekah, keluarganya masih tersebar banyak di tanah mulia itu. Mereka adalah jaminan tidak langsung bagi keselamatan Utsman saat memasuki wilayah Quraisy. Berbeda dengan Umar bin Khattab dari Bani ‘Adi, yang mempunyai akses sekuat keluarga Utsman di Mekah.

Ketiga: Umar menyadari sepenuhnya, bahwa kepalanya saat ini sangat berharga dalam pandangan orang-orang Quraisy. Umar masuk dalam kategori ‘most wanted’ bagi keluarga veteran Badr dari pihak pasukan Quraisy. Betapa tidak? Ingatan pasukan Quraisy pasti tidak akan pernah lupa, bagaimana pedang Umar telah banyak menyambar kepala pemuka-pemuka mereka di medan Badar. Pedang Umar telah banyak menumpahkan darah yang begitu murah saat itu. Inilah yang menjadikan gigi mereka selalu bergemeretak penuh dendam saat mendengar nama Umar. Umar tahu persis akan hal ini, karenanya ia mundur sejenak bukan karena penakut. Tapi ia begitu cerdas tahu kapan saatnya maju dan mundur, dan tetap dalam keberanian yang kokoh. Umar bin Khattab juga cerdas saat merekomendasikan nama Utsman, karena Umar tahu bahwa profil Utsman relatif netral di mata Quraisy.
Mereka belum menyimpan amarah dan dendam yang begitu besar, karena Utsman bin Affan tidak pernah terlibat dalam pertempuran Badar. Utsman tidak ikut mengayunkan pedang bersama kaum muslimin lainnya di medan Badr, atas perintah Rasulullah SAW untuk fokus pada perawatan istrinya yang sedang terbaring sakit parah di Madinah. Inilah kecerdasan Umar dalam mengelola keberanian. Tahu kapan saatnya tampil meruntuhkan kesombongan lawan, dan paham kapan ia harus mundur sejenak menyimpan keberanian untuk tidak ditampilkan. Setiap kita mempunyai potensi keberanian. Setiap hari keberanian kita akan ditantang dengan berbagai permasalahan. Keberanian kita akan senantiasa diuji dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Akan ada berbagai pilihan untuk membuat keputusan-keputusan besar yang senantiasa menggoda bagi kita untuk menjawabnya saat ini juga, apakah dengan menampilkan keberanian begitu saja apa adanya, ataukah menyimpannya sejenak dengan penuh kecerdasan dan strategi sebagaimana Umar bin Khattab mencontohkan? Semua pasti akan mengalami saat-saat semacam ini. Para penentu kebijakan selalu saja dalam posisi yang gamang; Apakah menunjukkan keberanian untuk memuaskan harapan para pendukungnya? Agar keberanian itu tetap terjaga citranya di hadapan teman, keluarga atau bawahannya. Ataukah memilih mengelola keberanian itu dengan cerdas, menyimpannya sejenak, sehingga seolah terlihat tak ada keputusan yang berani, tetapi sejatinya yang ada adalah langkah jitu yang akan membuahkan kemenangan telak dan sekaligus membungkam lawan! Akhirnya, selamat mengelola keberanian Anda dengan cerdas. Semoga bermanfaat! 
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/21122/umar-bin-khattab-cerdas-mengelola-keberanian/#ixzz285dFxRKB

Senin, 20 Agustus 2012

FESTIVAL SANTRI 1433 H

Untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri 1433 H TPQ Darussalam mengadakan FESTIVAL SANTRI 2 dengan berbagai macam lomba :
- Da'i Kecil
- Hafalan Do'a Sehari-hari
- Hafalan Surat-surat pendek
- Adzan
...
- Puisi
- Mewarnai

Hari/Tanggal : Kamis, 23 Agustus 2012
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : Masjid Darussalam

CP : 0821-37732026
FB : Tpq Darussalam Kauman

Minggu, 29 Juli 2012

KUNCI RIZKI


KUNCI-KUNCI RIZKI
MENURUT AL-QUR’AN & AS-SUNNAH
Oleh : Dr.Fadhl Ilahi

MUKADIMAH
Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunanNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita. Siapa yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku ber-saksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba’-du.
Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewa-jiban syari’at Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan dibidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.
Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq tidaklah mensyariatkan agamaNya hanya sebagai petun-juk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja. Tetapi Allah mensyariat-kan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia. Bahkan do’a yang sering dipanjatkan Nabi kita , kekasih Tuhan Semes-ta Alam, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat ma-nusia adalah:
“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaik-an di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka.”
Allah dan RasulNya yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan. Tetapi se-baliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan. Seandainya umat ini mau memahaminya, menyadarinya, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi.
Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan me-ngenalkan saudara-saudara sesama muslim tentang berbagai sebab di atas dan untuk meluruskan pemahaman mereka ten-tang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah ter-sesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah un-tuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapat-kan rizki tersebut dalam buku kecil ini. Buku ini saya beri judul “Mafaatiihur Rizqi fi Dhau’il Kitab was Sunnah” (yang kami terjemahkan menjadi: “Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah”).
Hal-Hal Yang Saya Perhatikan Dalam Makalah Ini
Diantara hal-hal yang saya perhatikan dengan karunia Allah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Rujukan utama dalam makalah ini adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah RasulNya yang mulia.
2.      Saya menukil hadits-hadits dari maraji’ (sumber) aslinya. Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha’if, dan lain sebagai-nya, pen.), kecuali apa yang saya nukil dari shahihain (Al-Bukhari dan Muslim). Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahihannya).
3.      Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faedah (penje-lasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (kete-rangan) hadits-hadits.
4.      Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyari’atkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan setelah memo-hon pertolongan dari Allah dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keragu-raguan di dalamnya.
5.      Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat lain dari sebab-sebab yang Allah jadikan selain ma-salah rizki. Kecuali disebutkan secara kebetulan. Mudah-mudahan Allah memudahkan saya untuk membicara-kan hal-hal tersebut di masa yang akan datang.
6.      Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, In-sya Allah.
7.      Saya tuliskan beberapa maraji’ (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali kepadanya.
8.      Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya. Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untu mengumpulkannya.Ucapan Terima Kasih dan Do’a
9.      Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini. Kami ucapkan terimakasih sekaligus panjatan do’a kepada saudaraku Dr. Sayid Muhammad Sadati Asy-Syinqithi. Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab Ta’awuni lid Dakwah wal Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-orang Asing di Bathha’, Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di mana, sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut. Do’a saya juga untuk putra saya tersayang Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain. Mereka secara bersama-sama saya memeriksa naskah yang telah disetting dari buku ini. Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat.
Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Ia menjadikan pekerjaanku ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya. Serta menjadi-kannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, semoga Ia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta sege-nap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyari’atkan. Semoga pula Ia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabul-kan. Amin.
Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad , kepada keluarga, sahabat dan segenap pengikutnya.
Dr. Fadhl Ilahi
Pasal Pertama :
ISTIGHFAR DAN TAUBAT

Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah is-tighfar (memohon ampunan) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan:
a. Hakikat istighfar dan taubat.
b. Dalil syar’i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki.
A. Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mere-ka mengucapkan,
“Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat ke-padaNya”
Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Para ulama semoga Allah memberi balasan yang se-baik-baiknya kepada mereka telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.
Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: “Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena ke-burukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berke-inginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha mela-kukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menje-laskan: “Para ulama berkata, ‘Bertaubat dari setiap dosa hu-kumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali per-buatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika ber-bentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengem-balikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk mem-balasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah “Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” (Nuh: 10).
Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.
B. Dalil Syar’i Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits me-nunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah . Di bawah ini beberapa nash dimaksud:
1. Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya :
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (Nuh: 10-12).
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.
1.      Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: “Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.”
2.      Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata ” ” adalah (hujan) yang turun dengan deras.
3.      Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha’ berkata: “Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian”.
4.      Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
5.      Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: “Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bah-wa istighfar merupakan salah satu sarana meminta ditu-runkannya rizki dan hujan.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: “Makna-nya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian).”
Demikianlah, dan Amirul mukminin Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah .
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya’bi: “Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang ba-nyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, ‘Aku tidak mendengar Anda memohon hujan’. Maka ia menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” (Nuh: 10-11).
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya ketu-runan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bah-wasanya ia berkata: “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Yang lain lagi berkata kepadanya, “Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!” Maka beliau mengatakan kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!” Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, “Beristighfarlah kepa-da Allah!”
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Ar-Rabi’ bin Shabih berkata kepadanya, ‘Banyak orang yang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, ‘Aku tidak mengata-kan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12).
Allahu Akbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-ham-baMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus MakhlukNya.
2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan ten-tang seruan Hud kepada kaumnya agar beristighfar.
“Dan (Hud berkata), ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’.” (Hud:52).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman:
“Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu”.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
3. Ayat yang lain adalah firman Allah:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3).
Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang beristighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya:
Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu.” Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas adalah, “Ia akan menganugerahi rizki dan kelapangan kepada kalian”.
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: “Inilah buah dari istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian.
Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan ber-taubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentu-kan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang dite-tapkan”.
4. Dalil lain bahwa beristighfar dan taubat adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitan-nya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka”.
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang mem-perbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, yang Memiliki kekuatan akan mem-berikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hen-daklah ia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memo-hon ampun), baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada, sekali lagi hendaknya waspada, dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab itu adalah pekerjaan para pendusta.
Pasal Kedua :
TAQWA

Termasuk sebab turunnya rizki adala taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini dengan memohon taufik dari Allah dalam dua bahasan:
a. Makna taqwa.
b. Dalil syar’i bahwa taqwa termasuk kunci rizki.
A. MAKNA TAQWA
Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”.
Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan “Mentaati perintah dan laranganNya.” Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah . Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.”
Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangan-nya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa.
Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta me-lakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa.
Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
B. DALIL SYAR’I BAHWA TAQWA TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa terma-suk di antara sebab rizki, Di antaranya:
1. Firman Allah:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3).
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dika-takan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. Kedua, “Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah de-ngan melakukan apa yang diperintahkanNya dan mening-galkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan membe-rinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya,”
Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”.
2. Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri”. (Al-A’raf: 96).
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.
Menafsirkan firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas mengatakan: “Niscaya Kami lapangkan kebaikan (ke-kayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkan dari segala arah.”
Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:
a. Janji Allah untuk membuka “ (keberkahan) bagi mereka. “” adalah bentuk jama’ dari ” ” Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, “Tetapnya suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu.”
Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat ” ” adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.
Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat.”
Syaikh Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: ” ” adalah kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah sebaik-baik jenis nikmat.”
b. Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama’ sebagai-mana firman Allah:
“Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah.” Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.
c. Allah berfirman:
Berbagai keberkahan dari langit dan bumi”. Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berba-gai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah .”
3. Ayat lainnya adalah firman Allah:
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. (Al-Ma’idah: 66).
Allah mengabarkan tentang Ahli Kitab, ‘Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an –demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas c dalam menafsirkan ayat terse-but,niscaya Allah memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi.
Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: “Allah menghendaki –wallahu a’lam bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya wallahu’alam, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat du-nia,”
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengata-kan, “Dan sejenis dengan ayat ini adalah firman Allah:
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq:2-3).
“Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas ja-lan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang ba-nyak).” (Al-Jin: 16).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96).
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.
Allah berfirman:
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu.” (Ibrahim: 7).
Karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta’ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.
Pasal Ketiga :
BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH

Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:
a. Yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
b. Dalil syar’i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.
c. Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha?
A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan– telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: “Tawak-kal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang di-tawakkali) semata.”
Al-Allamah Al-Manawi berkata: “Tawakkal adalah me-nampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali.”
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: “Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pem-berian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari Allah.”
B. Dalil syar’i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda:
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah yang ber-bicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi’ bin Khutsaim me-ngatakan: “(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia”.
C. Apakah Tawakkal itu Berarti Mening-galkan Usaha?
Sebagian orang mukmin ada yang berkata: “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”
Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan di-beri rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan telah memperingatkan masa-lah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: ” Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka berta-wakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan dan usa-ha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.”
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”
Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata: “Para Sahabat berda-gang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itu-lah teladan kita”.
Syaikh Abu Hamid berkata: “Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah , meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari’at. Sedangkan syari’at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, “Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak da-lam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya”.
Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: “Ketahuilah se-sungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.”
Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya , ia berkata:
“Seseorang berkata kepada Nabi , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi bersabda: ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah’.”
Dan dalam riwayat Al-Qudha’i disebutkan:
“Amr bin Umayah berkata: ‘Aku bertanya,’Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’ Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakkallah’.”
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
Pasal Keempat :
BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA

Di antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya. Saya akan membahas masalah ini –dengan memohon pertolongan kepada Allah– dari dua hal:
A. Makna beribadah kepada Allah sepenuhnya.
B. Dalil syar’i bahwa beribadah kepada Allah sepenuhnya adalah di antara kunci-kunci rizki.
A. Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi yang dimaksud – wallahu a’lam– adalah hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
“Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.
Menjelaskan sabda Rasulullah :
“Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu”. Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, “Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu”.
B. DALIL SYAR’I BAHWA BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA TERMASUK KUNCI RIZKI
Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tesebut di antaranya adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.”
Nabi dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan keka-yaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibuk-an, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.
2. Hadits riwayat Imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.”
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji daripadaNya, berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar ber-ibadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti meme-nuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.
Sebagaimana Nabi juga memperingatkan akan ancam-an Allah kepada orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.
Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorang pun yang mampu memberinya waktu luang.



Pasal Kelima :
MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH ATAU SEBALIKNYA

Di antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Pembicaraan masalah ini –dengan memohon pertolongan Allah– akan saya lakukan melalui dua poin bahasan:
A. Yang dimaksud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya.
B. Dalil syar’i bahwa melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk pintu-pintu rizki.
A. Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya
Syaikh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang mak-sud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya berkata: “Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.
B. Dalil Syar’i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci Rizki
Di antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melan-jutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah :
1. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban meriwayatkah dari Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda:
“Lanjutkanlah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagai-mana api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji yang mabrur itu melainkan Surga”.
Dalam hadits yang mulia tersebut Nabi yang terper-caya, yakni berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu Hibban mem-beri judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan:
“Keterangan Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan dari Setiap Muslim dengan Sebab Keduanya.”
Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sabda Nabi :
“Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa”, dia berkata, “Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan ber-sedekah dalam menambah harta.”
2. Hadits riwayat Imam An-Nasa’i dari Ibnu Abbas c, ia berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Lanjutkanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemis-kinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat menghi-langkan kotoran besi.”
1.      Maka orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya, hendaknya ia segera melan-jutkan hajinya dengan umrah atau sebaliknya.